Kenaikan PPN dan Beban Pajak Sebabkan Kelas Menengah Indonesia Terancam Turun Kasta

Investor (EduFulus/Ist)
Jangan Lupa Bagikan!

The Path To Financial Freedom, EduFulus.com – Warga kelas menengah di Indonesia semakin terjepit, tidak hanya karena menurunnya daya beli, tetapi juga akibat kenaikan pajak. Di satu sisi, kelompok ini sudah tidak lagi memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi pemerintah, namun di sisi lain mereka harus menanggung beban pajak yang semakin tinggi untuk mendukung target penerimaan negara.

Terbaru, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11% menjadi 12%. Tujuan kenaikan ini adalah untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung pembangunan infrastruktur, program sosial, menutupi defisit anggaran, serta membiayai berbagai program pemerintah.

Hasan Zein Mahmud, mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, berpendapat bahwa kenaikan PPN sebesar 1% tersebut setara dengan kenaikan sebesar 9%. Jika dibandingkan dengan kinerja saham yang tidak pasti, kenaikan pajak ini akan terasa berat bagi masyarakat. Pasalnya, hampir setiap kegiatan sehari-hari sudah dikenakan pajak.

SIMAK JUGA: 10 Buku Bahasa Inggris yang Wajib Dibaca Trader

Hasan Zein juga menyoroti betapa banyaknya pajak yang harus dibayar masyarakat. “Kita cari uang untuk bayar pajak. Uang kita menghasilkan uang, bayar pajak. Kita belanjakan uang kita, bayar pajak. Kita beli aset, bayar pajak. Kita jual aset, bayar pajak. Bahkan aset yang sudah kita miliki dan sudah dikenakan pajak, setiap tahun masih dikenakan pajak lagi,” ujarnya.

Ia juga menyatakan bahwa masyarakat tetap harus berpikir positif dan mendukung pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan, meskipun banyak temuan kasus korupsi yang membuat pembayar pajak merasa prihatin.

Sementara itu, program makan bergizi gratis yang rencananya akan diluncurkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto pada Januari 2025, diperkirakan juga akan meningkatkan penerimaan pajak.

Program ini membutuhkan dana yang sangat besar, sekitar Rp71 triliun atau sekitar Rp800 miliar per hari untuk menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak sekolah dan ibu hamil/menyusui. Hal ini bisa semakin menambah beban bagi warga kelas menengah jika dana tersebut didapatkan dengan menaikkan pajak.

Fenomena melemahnya daya beli masyarakat sudah banyak diungkapkan oleh para ekonom dan pemerintah. Ekonom menyebutkan bahwa pelemahan daya beli tercermin dari data deflasi selama lima bulan berturut-turut hingga September 2024, sementara Bappenas juga mencatat bahwa pendapatan riil masyarakat terus menurun dalam 14 tahun terakhir, sebagian besar karena tingginya biaya hidup dan banyaknya orang yang bekerja di sektor informal.

Menurut data Bappenas, proporsi pendapatan riil terhadap PDB per kapita terus menurun. Pada tahun 2010, proporsi ini mencapai 78,5%, dan sempat mencapai 78,9% pada 2011. Namun, pada 2023 proporsinya hanya sekitar 72,7%. Hal ini terjadi akibat tekanan inflasi yang meningkat, serta ketidakpastian global seperti pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan perang dagang.

SIMAK JUGA: Perbedaan Reksa Dana dan Saham, Mana yang Lebih Menguntungkan?

Kelas menengah di Indonesia, yang pada 2024 diperkirakan memiliki pengeluaran per kapita antara Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta per bulan, kini terancam “turun kasta” akibat kombinasi pelemahan daya beli dan pajak yang semakin tinggi. Banyak masyarakat di kelas menengah, terutama yang rentan miskin, akan semakin terjepit.

Dalam menghadapi situasi ini, masyarakat kelas menengah perlu mengatur keuangan dengan lebih bijak. Mereka harus menyeimbangkan antara berhemat dan tetap berinvestasi serta terlindungi asuransi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membagi pengeluaran bulanan, yaitu: 50% untuk kebutuhan rutin, 30% untuk membayar utang, 10% untuk investasi dan tabungan, serta 10% untuk proteksi.

Selain itu, penting untuk memiliki dana darurat yang cukup. OJK merekomendasikan dana darurat sebesar 3-6 kali gaji bagi yang masih single, dan 6-12 kali gaji bagi yang sudah berkeluarga. Setelah dana darurat terkumpul, barulah masyarakat bisa lebih leluasa merencanakan investasi.

Investasi sebaiknya dilakukan dengan dana yang tidak digunakan untuk kebutuhan rutin, dan memilih instrumen yang relatif stabil, seperti reksadana pasar uang atau Surat Berharga Negara (SBN) Ritel, yang menawarkan imbal hasil lebih baik dibandingkan deposito dan bisa mengalahkan inflasi. Sebaliknya, dana darurat sebaiknya tidak disimpan dalam instrumen yang berisiko tinggi agar tidak tergerus oleh fluktuasi pasar.

SIMAK JUGA: 7 Film yang Wajib Ditonton Trader

* Kuy cerdas investasi dan trading dengan artikel edukatif EduFulus.com lainnya di Google News. Dus, jika ada yang tertarik menjalin kerjasama dengan EduFulus.com, silakan hubungi tim di WA (0812 8027 7190) atau email: edufulus@gmail.com.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*