
The Path To Financial Freedom, EduFulus.com – Bagi sebagian investor, September kerap dianggap sebagai “bulan keramat”. Sejarah mencatat bahwa performa pasar di bulan ini cenderung loyo, baik di bursa saham tradisional maupun pasar aset kripto.
Fenomena yang dikenal sebagai September Effect ini bukanlah kebetulan, melainkan pola musiman yang didukung data historis, meskipun penyebabnya masih diperdebatkan.
Pola ini pertama kali tercatat di bursa saham Amerika Serikat sejak awal abad ke-20. Indeks utama seperti S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) cenderung mencatatkan kinerja terburuknya di bulan September.
SIMAK JUGA: Kupas Tuntas January Effect dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Bahkan, bulan ini kerap menjadi momentum koreksi signifikan, seperti koreksi pasar pada tahun 1929 dan 2008.
Fenomena ini juga terjadi di pasar kripto. Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menjelaskan bahwa Bitcoin, yang dikenal dengan volatilitasnya, juga menunjukkan pola serupa.
Sejak tahun 2013, data historis mencatat rata-rata return Bitcoin di bulan September cenderung negatif.
Namun, Fahmi juga mencatat dinamika menarik dalam dua tahun terakhir. “Menariknya, dalam dua tahun terakhir, September memberikan return positif baik bagi Bitcoin maupun Ethereum, meskipun masih menjadi bulan dengan rata-rata return historis terburuk bagi Bitcoin sejauh ini,” jelas Fahmi di Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Penyebab September Effect
Penyebab di Balik September Effect. Fenomena September Effect sering dikaitkan dengan beberapa faktor utama:
Likuiditas Global Mengetat
Setelah musim panas, likuiditas global sering kali mengetat. Bulan September juga bertepatan dengan rilis data ekonomi penting dan keputusan kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) yang bisa memicu volatilitas dan membuat investor lebih konservatif.
Akhir Kuartal Ketiga
Akhir September adalah akhir dari kuartal ketiga. Banyak manajer investasi melakukan rebalancing portofolio dengan profit-taking (mengambil keuntungan) atau tax-loss selling (memangkas kerugian) sebelum akhir tahun fiskal, yang menciptakan tekanan jual signifikan.
Ekspektasi Negatif Investor
September Effect sudah menjadi pengetahuan umum. Ekspektasi negatif ini justru memperkuat tren tersebut. Banyak pelaku pasar yang percaya harga akan turun, sehingga mereka mulai menjual aset, dan pada akhirnya, membuat penurunan harga benar-benar terjadi.
Peluang Potensial di Tahun 2025
Meski pola historis menunjukkan kecenderungan negatif, pasar di tahun 2025 memiliki dinamika unik. Pasar kripto, khususnya Bitcoin dan Ethereum, mendapatkan dukungan kuat dari arus dana institusional melalui instrumen ETF Spot.
Fahmi menambahkan, “Suplai uang pada indikator US M2 Juli yang dirilis 26 Agustus lalu juga kembali meningkat menyentuh angka tertinggi baru sepanjang masa.
Hal ini dapat mendukung optimisme investor terhadap aset berisiko seperti kripto, terlebih apabila The Fed memutuskan untuk menurunkan suku bunga pada pertemuan FOMC pertengahan September nanti.”
Pola musiman seperti September Effect hanyalah salah satu dari sekian banyak indikator. Fahmi menyarankan investor untuk mengedepankan manajemen risiko yang solid dan memantau faktor fundamental serta makroekonomi.
Bagi investor konservatif atau pemula, aset dengan kapitalisasi pasar terbesar seperti Bitcoin, Ethereum, XRP, dan Solana bisa menjadi opsi menarik untuk dieksplorasi. Aset-aset ini cenderung memiliki ketahanan lebih tinggi di tengah volatilitas pasar.
“Apabila sentimen bullish berkembang, koin-koin tersebut biasanya menjadi pilihan utama para investor besar,” pungkas Fahmi.
SIMAK JUGA: Inilah Perbedaan Santa Claus Rally dan January Effect
*Kuy cerdas investasi dan trading dengan artikel edukatif EduFulus.com lainnya di Google News. Dus, jika ada yang tertarik menjalin kerjasama dengan EduFulus.com, silakan hubungi tim di WA (0812 8027 7190) atau email: edufulus@gmail.com.
Leave a Reply