![Sedih Sedih](https://www.edufulus.com/wp-content/uploads/2021/10/Sedih.jpg)
The Path To Financial Freedom, EduFulus.com – Demam investasi dialami kalangan milenial di saat pandemi Covid-19. Sayang, dalam investasi ada kejadian yang bikin pilu, dimana modal investasinya dari hasil utang online atau “sekolahkan” atau jaminkan BPKB.
Ketika merugi, jadi double kerugiannya. Istilahnya, udah jatuh ketimpa tangga pula. Udah rugi karena sahamnya jatuh, lagi-lagi harus bayar utang dan bunganya. Sedihnya tuh di sini.
Memang sih, setiap orang menginginkan kehidupan yang nyaman dan bahagia, tapi tidak juga ambil risiko dengan utang untuk investasi keles. Justru, setiap kita sebaiknya bebas dari utang jika ingin hidup nyaman dan bahagia.
SIMAK JUGA: Tujuan Investasi Itu Sebaiknya Konkret, Ini 4 Alasannya
Banyak dari kita tentu tak ingin terbebani utang, meski kenyataan hidup kerap berbicara lain. Namun toh, banyak dari kita tak bisa mengelak dari yang namanya utang.
Pertanyaannya kini, sebenarnya kita itu boleh utang atau tidak sih dari sudut pandang ilmu keuangan? Kalau pun ternyata diperbolehkan, berapa sebenarnya jumlah ideal utang yang dianjurkan? Dua pertanyaan ini tak jarang menghinggapi kita, tak terkecuali anak-anak muda yang hendak melangkah ke jenjang pernikahan.
Berbicara soal utang, para pakar keuangan kompak menegaskan kalau utang itu boleh-boleh saja asal tahu batasannya. Utang tidak dilarang, tetapi memang harus bijak dalam prakteknya karena menyangkut pengelolaan keuangan secara cerdas biar tidak mendatangkan dampak buruk.
SIMAK JUGA: 4 Keuntungan Investasi Sejak Usia Dini Mulai Saat Ini Juga
Pengelolaan uang secara cerdas penting agar kondisi keuangan benar-benar sehat dan kebutuhan hidup terpenuhi sebagaimana mestinya. Utang memang bisa menjadi solusi keuangan, tetapi tak dapat dipungkiri bisa pula menjadi risiko keuangan tatkala kita gagal memenuhi kewajiban untuk membayar kembali.
Ibarat pisau bermata dua, utang bermanfaat bagi yang pandai dan bijak dalam penggunaannya, namun bisa mencelakakan, jika tak pandai dan sembrono. Oleh sebab itu, ada dua prinsip mendasar yang perlu diperhatikan dalam hal utang:
Pertama, tujuan utang bukan untuk sesuatu yang sifatnya konsumtif. Utang akan bermanfaat untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan memiliki nilai investasi, tapi tapi tidak untuk investasi di pasar modal. Ingat, investasi harus pakai uang dingin, bukan uang panas. Utang itu itu termasuk uang panas.
Kedua, disesuaikan dengan kemampuan finansial. Jangan sampai utang mengganggu pemenuhan kebutuhan finansial bulanan.
SIMAK JUGA: Tip Mengatur Cash Flow Keuangan dari Sosok Ibu
Berpegang pada dua prinsip di atas, rasio utang ideal yang umum diketahui yakni total cicilan perbulannya yang tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari penghasilan bersih perbulan. Selain untuk meminimalkan risiko gagal bayar, batasan ini dimaksudkan agar pemenuhan kebutuhan hidup bulanan masih bisa terpenuhi secara wajar dengan 2/3 (dua pertiga) penghasilan bulanan.
Batasan utang ini tentu sejalan dengan penjabaran strategi alokasi penghasilan: 50-30-10-10 dengan rincian, 50 persen anggaran untuk kebutuhan pokok (tagihan listrik, biaya sehari-hari, hingga tagihan air), 30 persen bayar utang (cicilan rumah, cicilan mobil, pinjaman dari bank, hingga pinjaman dari teman atau keluarga), 10 persen tabungan atau investasi, dan 10 persen dana darurat.
Dari strategi di atas terlihat jelas bahwa meski memiliki alokasi penghasilan untuk pembayaran utang sebesar 30 persen, keuangan terlihat sehat karena seperti tabungan atau investasi (10%) tidak ditiadakan. Begitulah, investasi memang tidak boleh ditiadakan.
Investasi sangat penting untuk menopang nilai uang di masa depan agar tidak tergerus atau tertekan inflasi. Investasi, entah reksa dana atau saham, penting untuk menopang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di masa depan. So, utang itu boleh-boleh saja asal tahu batasannya dan tidak untuk investasi. Untuk investasi sebaiknya menggunakan uang nganggur atau uang dingin.
SIMAK JUGA: Belajar Mengelola Gaji di 5 Pos Utama Ala Superman Asia Li Ka-Shing
Leave a Reply